Senin, 13 Maret 2017

3. MIMPI RATU MAHÀMÀYÀ


3. MIMPI RATU MAHÀMÀYÀ

(Indonesian & English Translation)

Ratu sekarang telah mengandung seorang bayi laki-laki. Jika anak ini meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi petapa, kelak Ia pasti menjadi Buddha Mahatahu.

Lebih dari dua ribu enam ratus tahun yang lalu, di India Utara, di kaki Pegunungan Himalaya, tersebutlah sejumlah kerajaan besar dan kecil yang diperintah oleh para raja. Salah satu kerajaan dimiliki oleh suku Sàkya, dengan Kapilavatthu sebagai ibukotanya. Saat itu, rajanya berasal dari kasta kesatria (khattiya), bernama Suddhodana.

Raja Suddhodana menikah dengan seorang putri dari Kerajaan Koliya yang bernama Mahàmàyà sebagai ratu utama. Mereka hidup bahagia. Seluruh rakyat di kerajaan itu mencintai mereka karena Suddhodana adalah raja yang arif dan piawai. Begitu pula dengan Ratu Mahàmàyà yang memiliki perangai moral yang sepadan baiknya.

Sudah cukup lama mereka menikah, namun mereka masih belum memiliki keturunan, terutama seorang putra yang diharapkan menjadi raja kelak. Pada masa itu ada kebiasaan dari rakyat Sàkya untuk merayakan perayaan tahunan yang disebut Uttaràsàlhanakkhatta selama tujuh hari pada bulan Àsàlha. Ratu Mahàmàyà juga turut serta dalam perayaan tersebut, yang terkenal karena diperindah dengan bunga-bunga, wewangian, perhiasan, dan pantangan penuh terhadap minuman keras. Pada hari ketujuh perayaan itu, pada hari bulan purnama Àsàlha, Ratu Mahàmàyà bangun pagi-pagi, mandi dengan air wangi, dan memberikan dana yang besar. Ia lalu memohon Delapan Aturan Moral dari gurunya dan melaksanakannya sepanjang hari. Pada malam bulan purnama itu ia bermimpi. Dalam mimpinya, ia merasa bahwa keempat raja dewa mengangkat dan membawa dirinya duduk di kursi kerajaan menuju Manosilàtala, di dekat Danau Anotatta di Himalaya. Di sana, ia ditempatkan di bawah naungan sebatang pohon sàla.

Lalu, para istri dari keempat raja dewa itu mendekati dan memandikannya di danau tersebut. Mereka memakaikan busana surgawi, mengurapinya dengan minyak wangi, dan meriasinya dengan bunga-bunga surgawi. Mereka membiarkan dirinya tidur di dalam wisma keemasan yang terletak di sebuah gunung perak yang tidak jauh dari danau tersebut. Dalam mimpi itu, tampak olehnya seekor gajah putih yang membawa sekuntum teratai dengan belalainya yang berkilau. Gajah itu muncul dan mengelilinginya tiga kali searah jarum jam, lalu memasuki kandungannya melalui sisi kanan tubuhnya. Akhirnya, gajah itu menghilang, dan sang ratu terjaga dari tidurnya.

Keesokan paginya, ia menceritakan mimpinya kepada raja. Karena tidak mampu menafsirkan mimpi itu, raja memanggil beberapa orang bijak (brahmin) dan menanyakan artinya kepada mereka. Para bijak tersebut menjawab: “Raja Agung, jangan khawatir! Sekarang ratu telah mengandung seorang bayi laki-laki. Jika anak ini meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi petapa, kelak Ia pasti menjadi Buddha Mahatahu.” Raja dan ratu merasa sangat berbahagia mendengar hal ini.

Source From : 
CHRONICLE OF THE BUDDHA
Bhikkhu Kusaladhamma





3. THE DREAM OF QUEEN MAHÀMÀYÀ


Over two thousand and six hundred years ago, in Northern India, at the foothills of the Himalayas, there were a number of large and small kingdoms ruled by kings. One of these kingdoms belonged to the Sàkyans, and its royal city was called Kapilavatthu. At that time, the king was of the Khattiya (Noble Warrior) race; his name was Suddhodana.

King Suddhodana was married to a beautiful Koliyan princess named Mahàmàyà as his chief queen. They lived happily, and everyone in the kingdom loved them because King Suddhodana was a wise and skilful king; so was Queen Mahàmàyà, who possessed equally good moral character.

It had been quite a long time since they were married, but they had not been favoured any children, especially a son who was expected to succeed to the throne. There was a custom of the Sàkyans to celebrate an annual festival called Uttaràsàlhanakkhatta, which fell in the month of Àsàlha, for seven days. Queen Mahàmàyà also took part in the festival, which was distinguished by beautification with flowers, perfumes, ornaments and by total abstinence from liquor. On the seventh day of the festival, on the full-moon day of Àsàlha, Queen Mahàmàyà woke up early, took a perfumed bath and made a most generous donation. She then took eight precepts from her teacher and spent the entire day by observing the precepts. At that full-moon night, she had a dream. In her dreams, she felt that four deva kings lifted and carried her along on a royal couch to Manosilàtala, near the Anotatta Lake in the Himalayas. There, she was placed under the shade of a sàla tree.

Then, the wives of the four deva kings approached and bathed her in the lake; they dressed her in celestial raiment, anointed her with perfumes and adorned her with celestial flowers. They let her sleep in a golden mansion inside a silver mountain not far from the lake. In her dream, she saw a white elephant holding a white lotus flower in his gleaming trunk. The elephant appeared and walked around her clockwise three times, and entered into her womb from the right side. Finally, the elephant disappeared, and she woke up.

Early in the morning, she told the king about her dream. Not knowing how to interpret it, the king summoned some wise men (brahmins) and asked them the meaning. The wise men replied: “Great king, be not anxious! The queen has now conceived a baby boy. If he renounces the household life as ascetic, he will surely become an Omniscient Buddha.” Both the king and the queen were very happy upon hearing this news.

2. CITA-CITA SUMEDHA UNTUK MENJADI BUDDHA MAHATAHU




2. CITA-CITA SUMEDHA UNTUK MENJADI
BUDDHA MAHATAHU
(Indonesian & English Translation)


Dengan kepiawaianku dalam keyakinan, daya, dan kebijaksanaan, aku akan mengerahkan usaha sebaik mungkin untuk menjadi Buddha Mahatahu dan membebaskan segenap makhluk dari lingkaran kelahiran, samudra penderitaan ini.

Setelah berhasil dalam praktik tapanya, Petapa Sumedha melewatkan waktunya di dalam hutan dengan menikmati kebahagiaan jhàna. Ia sama sekali tidak menyadari kemunculan Buddha Dìpañkara di dunia ini.

Pada suatu hari, Buddha Dìpañkara, diiringi oleh empat ratus ribu Arahanta, datang ke Kota Rammavatì dan tinggal di Wihara Sudassana. Pada kesempatan yang penuh berkah tersebut, warga Rammavatã mengunjungi Yang Terberkahi serta mengundang-Nya beserta para siswa untuk menerima dana makanan esok hari. Kemudian, mereka melakukan persiapan yang diperlukan seperti membersihkan dan menghiasi kota. Mereka juga memperbaiki jalan yang akan dilintasi oleh Yang Terberkahi dan para siswa-Nya menuju kota itu. Mereka menambal lubang jalan dengan tanah, memperbaiki kerusakan akibat banjir, meratakan tanah berlumpur yang tidak rata, dan melapisi jalanan dengan pasir putih bak mutiara.

Pada waktu itu, Petapa Sumedha tengah melayang di udara dari tempat pertapaannya. Tatkala menempuh perjalanan udara, ia melihat warga Rammavatã tengah memperbaiki jalan dan menghiasi kota dengan riang gembira. Terdorong keinginan mengetahui apa yang sedang terjadi di bawah sana, ia turun dan berdiri di tempat yang sesuai. Lalu ia bertanya: “Kalian sedang memperbaiki jalan dengan begitu gembira dan bersemangat. Untuk siapakah kalian memperbaiki jalan?”
Para warga menjawab: “O Petapa Sumedha, telah muncul di dunia ini Buddha Mahatahu Dìpañkara, yang telah menundukkan kelima kekuatan jahat Màra; Ialah Yang Mahasuci di seluruh dunia. Kami memperbaiki jalan ini untuk-Nya.”

Begitu Petapa Sumedha mendengar kata “Buddha”, hatinya dipenuhi sukacita. Terpikir olehnya: “Sesungguhnya, sangat jarang dan sulit munculnya sesosok Buddha di dunia ini. Alangkah beruntungnya jika aku dapat melayani Yang Terberkahi. Inilah waktu yang tepat bagiku untuk menanam benih jasa luhur di ladang yang subur, yaitu Buddha Dìpañkara ini.”

Ia lalu memohon: “O Para Warga, sisihkanlah bagi saya sepenggal jalan ini! Saya ingin turut serta memperbaiki jalan untuk menyambut kunjungan Yang Terberkahi.”
“Baiklah,” kata para warga. Mereka lalu menyisihkan sebagian besar jalan yang berlumpur, tidak rata, dan sulit diperbaiki. Para warga beranggapan bahwa perbaikan itu akan mudah bagi sang petapa yang memiliki kesaktian tinggi.

Lalu Petapa Sumedha berpikir: “Aku bisa saja mengerahkan kesaktianku untuk memperbaiki jalan ini dengan mudah, namun jika ini kulakukan, para warga mungkin tidak akan terlalu menaruh hormat. Sebaiknya aku melakukan kewajibanku hanya dengan tenaga jasmaniku saja.”

Ketika Petapa Sumedha tengah memperbaiki jalan itu, Buddha Dìpañkara beserta keempat ratus ribu Arahanta tiba melalui jalan tersebut. Para dewa dan segenap warga Rammavatì menyambut mereka dengan tabuhan genderang. Pada waktu itu, manusia dapat terlihat oleh para dewa dan para dewa dapat terlihat oleh manusia. Mereka semua mengungkapkan sukacita dengan melantunkan nyanyi-nyanyian untuk menghormati Yang Terberkahi. Para dewa dan manusia memainkan alat musiknya masing-masing. Ketika para dewa menaburkan bunga surgawi seperti mandàrava, paduma, dan kovilàra ke segenap penjuru, manusia di dunia juga melakukan hal yang sama dengan menaburkan bunga-bunga yang indah nan harum, seperti campà, sarala, mucalinda, nàga, punnàga, dan ketakã, untuk memuja Yang Terberkahi.

Petapa Sumedha terpukau ketika menyaksikan Buddha Dìpañkara. Ia menatap Yang Terberkahi, yang terkaruniai tiga puluh dua markah Makhluk Agung (Mahàpurisa) dan delapan puluh markah kecil lainnya. Ia menyaksikan pribadi Buddha di puncak keagungan-Nya; tubuh-Nya cemerlang bagaikan emas, dengan kilauan aura dan enam cahaya terpancar dari tubuh-Nya.

Lalu, ia bertekad: “Aku belum selesai memperbaiki bagian jalan yang berlumpur ini, padahal Yang Terberkahi tengah mendekat. Aku tak akan membiarkan-Nya melewati lumpur dan merasa tidak nyaman. Hari ini juga aku akan mengorbankan hidupku demi Yang Terberkahi. Biarlah Yang Terberkahi dengan keempat ratus ribu Arahanta pengiring-Nya menapaki punggungku, menggunakan tubuhku sebagai jembatan untuk menyeberangi bagian jalan yang kurang baik ini. Dengan melakukan ini, kesejahteraan dan kebahagiaan yang panjang pasti akan datang kepadaku.”

Lalu, ia menelungkupkan diri pada rawa berlumpur itu. Seraya melakukan hal tersebut, timbul dalam pikirannya cita-cita untuk menjadi Buddha: “Jika memang kukehendaki, bisa saja aku mengenyahkan semua noda batin (àsava) dan membasmi segenap kotoran batin (kilesa) hari ini juga dan menjadi Arahà. Akan tetapi, apalah gunanya menghindari lingkaran kelahiran dan kematian (samsàra) ini sendirian saja? Dengan kepiawaianku dalam keyakinan, daya, dan kebijaksanaan, aku akan mengerahkan usaha sebaik mungkin untuk menjadi Buddha Mahatahu dan membebaskan segenap makhluk dari lingkaran kelahiran, samudra penderitaan ini.”

Di antara kerumunan orang tersebut, terdapat seorang gadis brahmin bernama Sumittà yang datang untuk berkumpul bersama orang-orang untuk menyambut Yang Terberkahi. Ia membawa delapan tangkai teratai untuk dipersembahkan kepada Yang Terberkahi. Tidak terlalu jauh dari tempatnya berdiri, secara tak sengaja, tampak olehnya Petapa Sumedha yang tengah bertekad untuk menjadi Buddha. Begitu ia memandang sang petapa, ia merasakan kasih yang sangat mendalam terhadapnya. Ia lalu mempersembahkan lima tangkai teratai kepadanya seraya berkata: “Petapa mulia, semoga saya bisa menjadi pendamping Anda selama Anda memenuhi Kesempurnaan (Pàramì) untuk menjadi Buddha.”

Petapa Sumedha menerima teratai tersebut dari Sumittà. Tatkala Petapa Sumedha mempersembahkannya kepada Buddha Dãpaïkara, ia bertekad agar bisa menjadi Buddha Mahatahu. Sumittà juga mempersembahkan ketiga batang teratai sisanya kepada Yang Terberkahi.

Waktu itu, semua orang merenungkan betapa langkanya kemunculan seorang Buddha. Mereka juga bercita-cita menjadi Buddha, namun hanya Petapa Sumedha yang memenuhi semua prasyarat yang diperlukan untuk pencapaian tersebut. Buddha Dãpaïkara tiba di dekat Petapa Sumedha yang tengah bertelungkup di lumpur, lalu menyerukan nubuatnya: “O Para Bhikkhu, Sumedha, petapa ini, akan menjadi Yang Tercerahkan di antara para brahmà, dewa, dan manusia dengan nama Gotama setelah memenuhi Kesempurnaannya selama empat kurun waktu tak terhingga dan seratus ribu kurun waktu yang sangat lama sejak saat ini.”

Melihat pemandangan yang terjadi antara Petapa Sumedha dan Sumittà, Yang Terberkahi mengutarakan ramalan-Nya di hadapan khalayak ramai: “O Sumedha, gadis ini, Sumittà, akan menjadi pendampingmu. Ia akan hidup bersamamu, membantumu untuk menjadi Buddha dengan semangat dan tindakan yang sebanding.”

Setelah Buddha Dìpañkara menyatakan ramalan-Nya, Ia dan keempat ratus ribu siswa Arahanta meneruskan perjalanan ke Kota Rammavatì, dengan sang petapa tetap berada di sisi kanan mereka. Begitu pula para dewa dan orang-orang di sana, mereka pun berlalu setelah menyembah hormat pada Petapa Sumedha dan menghormatinya dengan bunga-bunga dan wewangian.

Setelah itu, Petapa Sumedha bangkit dengan sukacita dari posisi telungkupnya dan duduk pada gundukan bunga yang ditaburkan untuk menghormatinya. Batinnya dipenuhi sukacita dan kebahagiaan. Para dewa dan brahmà yang datang dari sepuluh ribu tata dunia memberikan sanjungan dan dorongan kepadanya: “Sumedha yang luhur, teruslah berjuang dengan kesungguhan dan ketekunan! Jangan pernah mundur! Teruslah berusaha! Tiada keraguan dalam diri kami bahwa engkau pasti akan menjadi Buddha.”

Bakal Buddha (Bodhisatta) Sumedha merasa sangat bahagia dengan nubuat Buddha Dìpañkara dan dengan dorongan para dewa dan brahmà tersebut. Ia merenung: “Para Buddha bukanlah sosok yang berkata-kata meragukan. Mereka juga tidak mengatakan hal yang sia-sia. Tidak pernah perkataan Mereka terbukti salah. Pasti, aku akan menjadi Buddha.”

Kemudian, ia menyelidiki bahwa terdapat Sepuluh Kesempurnaan (Dasa Pàramì) yang sangat hakiki untuk mencapai Kebuddhaan, yaitu: (i) kedermawanan (dàna), (ii) moralitas (sìla), (iii) pelepasan keduniawian (nekkhamma), (iv) kebijaksanaan (paññà), (v) daya (viriya), (vi) kesabaran (khanti), (vii) kejujuran (sacca), (viii) keteguhan (adhiññhàna), (ix) cinta kasih (mettà), dan (x) ketenangseimbangan (upekkhà).

Ia juga mengetahui bahwa Sepuluh Kesempurnaan itu harus dipenuhi dalam tiga tahap, yaitu: (i) merelakan benda-benda luar merupakan pelaksanaan dari Kesempurnaan Biasa (Pàramì), (ii) merelakan anggota tubuh sendiri adalah pelaksanaan dari Kesempurnaan Tinggi (Upapàramì), dan (iii) merelakan hidup adalah pelaksanaan dari Kesempurnaan Mutlak (Paramattha Pàramì).

Sejak saat itu, Bodhisatta Sumedha memenuhi Kesempurnaan-Kesempurnaan tersebut dalam berulang kali kelahirannya, demi kesejahteraan semua makhluk. Dan sebelum kehidupan terakhirnya, ia terlahir kembali sebagai dewa di Surga Tusita dengan nama Dewa Setaketu. Ia menikmati segala kebahagiaan hidup surgawi untuk jangka waktu yang lama sembari menunggu waktu yang tepat untuk menjadi Buddha.

Source From : 
CHRONICLE OF THE BUDDHA
Bhikkhu Kusaladhamma


2. SUMEDHA’S ASPIRATION
TO BECOME AN OMNISCIENT BUDDHA

Having been accomplished in the practice of asceticism, the ascetic Sumedha spent his time enjoying the bliss of jhàna in the forest and was completely unaware of the appearance of the Buddha Dìpañkara in the world.

One day, the Buddha Dìpañkara—accompanied by four hundred thousand Arahants—came to the City of Rammavatì and stayed at the Sudassana Monastery. At this auspicious opportunity, the citizens of Rammavatã approached the Blessed One and invited Him and His disciples for the morrow’s meal. Then, they made the necessary preparations such as cleaning and decorating the city. They also attended to mending of the road which the Blessed One and His disciples would pass through to the city. They filled holes with earth, mended the breaches caused by floods, levelled the uneven muddy ground, and covered the road with pearl-white sand.

At that time, the ascetic Sumedha levitated from his hermitage, and while travelling through space, he saw the citizens of Rammavatì engaging cheerfully in road-mending and decorating. Wondering what was going on below, he alighted and stood at an appropriate place. Then, he asked: “You are mending the road so happily and enthusiastically. For whose benefit are you mending the road?”

The citizens answered: “O ascetic Sumedha, there has appeared in this world the Omniscient Buddha Dìpañkara, who has conquered the five evil forces of Màra, and who is the Supreme Lord of the whole world. We are mending the road for His benefit.”
As soon as ascetic Sumedha heard the word “Buddha”, his heart was filled with joy. He thought: “Rare and difficult, indeed, is the appearance of a Buddha in this world. How fortunate I will be should I be able to render my service to the Blessed One. This is the right moment for me to sow the excellent seeds of merit in the fertile field, namely this Buddha Dìpañkara.”

He then asked: “O men, please allot me a stretch of the road! I wish to participate in your road-mending work for the Blessed One’s visit.”
“Very well,” said the people, and they allotted him a big, swampy and uneven part of the road which would be difficult to mend; they considered that it would be easy for the ascetic, who had great supernatural powers.

Then, the ascetic Sumedha thought: “I can use my supernatural powers to mend this road easily, but if I do so the people may not think of it highly. I should perform my duties with my own physical labour only.”

When the ascetic Sumedha was still mending the road, the Buddha Dìpañkara and His four hundred thousand Arahants came along the road. Devas and all the citizens of Rammavatì welcomed them with the beating of drums. At that time, human beings were visible to the devas and the devas were visible to human beings. They expressed their joy by singing songs honouring the Blessed One. Both the devas and the people were playing their respective musical instruments. While the devas strewed celestial flowers such as mandàrava, paduma and kovilàra all over the places, the earth-bound humans also did similarly with the beautiful and fragrant flowers, such as campà, sarala, mucalinda, nàga, punnàga and ketakã, in adoration to the Blessed One.

The ascetic Sumedha was amazed on seeing the Blessed One. He gazed at the Blessed One, who was endowed with the thirty-two marks of a Great Man (Mahàpurisa) and eighty minor marks. He witnessed the Buddha’s personality at the height of glory; His body was as bright as gold, with a brilliant aura and six rays emanating from His body.

Then, he decided: “I have not finished mending this part of muddy road, but the Blessed One is approaching here. I will not let Him tread on the mud and suffer discomfort. I will sacrifice my life in the presence of the Blessed One today. Let the Blessed One with all His four hundred thousand Arahants walk on my back, using my body as a bridge to cross over this unpleasant part of the road. By doing so, long-lasting welfare and happiness will definitely accrue to me.”

Then, he laid prostrate on the murky swamp. And while doing so, there arose in his mind an aspiration to become a Buddha: “If I so desire, I can eliminate all cankers (àsava) and eradicate all defilements (kilesa) on this very day and become an Arahant. But, what is the advantage of selfishly escaping the cycle of births (samsàra) alone? With my prowess in faith, energy and wisdom, I will exert my utmost effort for the attainment of Omniscient Buddhahood and liberate all beings from the cycle of births, the sea of suffering.”

Among the crowds, there was a young brahmin maiden named Sumittà, who came to join the people gathering in the presence of the Blessed One. She brought with her eight stalks of lotus for offering to the Blessed One. At a place not too far from where she was standing, by coincidence, she saw the ascetic Sumedha, who was making his resolution to attain Buddhahood. As soon as her eyes fell on the ascetic, she was seized with a sudden great love for him. Then, she offered him her five stalks of lotus, saying: “Venerable ascetic, may I be your partner throughout the period you are fulfilling the Perfections for Buddhahood.”

The ascetic Sumedha accepted the lotus stalks from Sumittà. And while he offered them to the Buddha Dãpaïkara, he prayed for the attainment of Omniscient Buddhahood. Sumittà also offered the remaining three stalks to the Blessed One.

At that time, all the people, contemplating the rare appearance of a Buddha, also aspired to Buddhahood, but only the ascetic Sumedha was fully endowed with all the required qualifications for that attainment. The Buddha Dãpaïkara came towards the ascetic Sumedha, who was lying on the mud and uttered His prophecy: “O bhikkhus, this Sumedha the ascetic will become an Enlightened One among brahmàs, devas and human beings by the name of Gotama after fulfilling his Perfections (Pàramì) for four incalculable ages and a hundred thousand aeons from now.”

And observing the scene that had taken place between the ascetic Sumedha and Sumittà, the Blessed One declared a prophecy in the midst of the multitude: “O Sumedha, this girl Sumittà will be your partner. She will share life with you, assisting you with equal fervour and deed for your attainment of Buddhahood.”

After the Buddha Dãpaïkara declared His prophecy, He and His four hundred thousand Arahant disciples proceeded to the City of Rammavatì, keeping the ascetic Sumedha on their right. So did the devas and the people depart after paying obeisance to the ascetic Sumedha and honouring him with flowers and scents.

Thereafter, the ascetic Sumedha rose joyfully from his prostrate position and sat down on a huge pile of flowers that were strewn in his honour, his mind suffused with joy and happiness. The devas and brahmàs, who had come from the ten thousand worlds, spoke words of praise and encouragement to the ascetic: “Noble Sumedha, strive on earnestly with constant diligence! There should be no retreat. Proceed with endeavour! No doubt in us that you will certainly become a Buddha.”

The Buddha-to-be (Bodhisatta) Sumedha was delighted with both the prophetic words of the Buddha Dìpañkara and the encouraging words of the devas and brahmàs. He reflected thus: “Buddhas are not speakers of ambiguous words, nor are they given to speaking of futile things. Never have their words been proved wrong. Surely, I will become a Buddha.”

Then, he investigated that there were the Ten Perfections (Dasa Pàramì) which were essential for Buddhahood, namely: (i) perfection of alms-giving (dàna), (ii) perfection of morality (sìla), (iii) perfection of renunciation (nekkhamma), (iv) perfection of wisdom (paññà), (v) perfection of energy (viriya), (vi) perfection of forbearance (khanti), (vii) perfection of truthfulness (sacca), (viii) perfection of resolution (adhiññhàna), (ix) perfection of loving-kindness (mettà), and (x) perfection of equanimity (upekkhà).

He also came to know that the Ten Perfections had to be performed in all three stages, namely: (i) giving up external things is an exercise of the Ordinary Perfection (Pàramì), (ii) giving up one’s limbs is an exercise of the Higher Perfection (Upapàramì), and (iii) giving up one’s life is an exercise of the Highest Perfection (Paramattha Pàramì).

From then onwards, the Bodhisatta Sumedha exercised the Perfections in his many rounds of existence for the welfare of all beings. And in his penultimate life, he was reborn as a deva in the Tusita Heaven by the name of Deva Setaketu. He was enjoying all the pleasure of celestial life for a long time waiting the right time to become a Buddha.

1. SUMEDHA, SANG CALON BUDDHA



1. SUMEDHA, SANG CALON BUDDHA

(Indonesian & English Translation)


Orangtua, kakek-nenek, dan leluhurku hanya bisa menimbun kekayaan itu, namun tak sekeping emas pun dapat mereka bawa ketika mereka mati.

Empat kurun waktu tak terhingga (asañkheyya) dan seratus ribu kurun waktu yang sangat lama (kappa) yang telah silam, di Kota Amaravatã yang makmur, hiduplah anak lelaki bernama Sumedha dari sebuah keluarga brahmin yang kaya raya. Ketika ia masih belia, orangtuanya wafat dan meninggalkan seluruh kekayaan mereka untuknya. Sebagai brahmin muda, ia mempelajari ketiga Kitab Veda, dan tak lama kemudian ia mampu memahami dan dapat melafalkan kitab-kitab tersebut dengan sempurna.

Ketika Sumedha menyelesaikan pendidikannya dan beranjak dewasa, bendaharawan keluarga memberikannya senarai harta karun yang selama ini dijaga olehnya semenjak kematian orangtua Sumedha. Sang bendaharawan membuka tempat penyimpanan harta tersebut, yang penuh dengan emas, perak, berlian, rubi, mutiara, dan benda-benda berharga lainnya. Ia menyerahkan seluruh harta tersebut kepada Sumedha seraya berkata: “Tuan Muda, Anda mewarisi semua kekayaan ini, yang berasal dari keluarga ibu Anda, ayah Anda, dan dari tujuh generasi leluhur Anda. Anda boleh berbuat apa pun yang Anda inginkan!”

Suatu hari, tatkala Sumedha tengah duduk bersila dalam kesendirian, sebuah pemikiran terbersit dalam benaknya: “Sungguh menyedihkan terlahir dalam hidup ini karena tubuhku akan menjadi tua, sakit, dan mati. Hanya dengan meninggalkan tubuh inilah aku akan terbebas dari derita akibat lahir, tua, sakit, dan mati. Orangtua, kakek-nenek, dan leluhurku hanya bisa menimbun kekayaan itu, namun tak sekeping emas pun dapat mereka bawa ketika mereka mati. Suatu hari, aku pun akan menjadi tua, sakit, dan akhirnya mati. Alangkah baiknya jika setelah melepaskan semua harta ini aku meninggalkan hidup keduniawian, masuk ke hutan, dan menjadi petapa. Aku akan mencari jalan menuju Pembebasan dari belenggu kehidupan ini.”

Karenanya, setelah mendapat izin dari raja, genderang pun ditabuh, dan ia mengumumkan pemberian dana besar-besaran ke segenap penjuru Kota Amaravatã: “Barang siapa yang menginginkan kekayaanku, silakan datang dan mengambilnya!” Demikianlah, rakyat dari pelbagai kalangan dan berbagai tempat datang untuk mengambil harta Sumedha dengan sesuka hati.

Memulai Hidup Sebagai Petapa

Setelah tindakan dana besar-besaran tersebut, Sumedha melepaskan keduniawian dan menuju ke Pegunungan Himalaya pada hari itu juga. Setelah mencapai kaki pegunungan, Sumedha melalui bukit dan lembah guna mencari tempat yang sesuai untuk hidup dengan tenang. Di sana ia menemukan sebuah pertapaan di tepi sungai di sekitar Gunung Dhammika. Setelah mengetahui bahwa gubuk daun itu tiada pemiliknya, ia memutuskan untuk menggunakannya sebagai tempat berdiam. Ia lalu membuang busana awamnya, mengenakan jubah serat, dan menjadi petapa.

Semenjak hari itu, ia menjalani hidup sebagai petapa dengan tekun. Ia menyadari adanya ketiga jenis pemikiran buruk, yaitu: pemikiran yang berdasar pada nafsu indrawi (kàma vitakka) yang mengakibatkan pemuasan indra, pemikiran yang berdasar pada niat buruk (vyàpàda vitakka) yang mengakibatkan pembunuhan, penghancuran, dan perusakan, serta pemikiran yang berdasar pada kekejaman (vihiÿsa vitakka) yang merugikan dan menganiaya pihak lain. Mengetahui hal ini, sang petapa mencurahkan diri sepenuhnya melatih ketidakmelekatan batin dan jasmani (paviveka). Karenanya, keesokan harinya ia meninggalkan gubuk tersebut dan berdiam di kaki pepohonan.

Pagi berikutnya, ia menuju ke desa terdekat untuk menerima dana makanan. Dengan gembira, para penduduk desa mendanakan makanan pilihan kepadanya. Setelah bersantap, ia duduk dan berpikir: “Aku menjadi petapa bukan karena kekurangan makanan dan gizi. Alangkah baiknya jika aku menghindari makanan yang terbuat dari biji-bijian yang ditanam dan hanya bertahan hidup dari buah-buahan yang jatuh dari pepohonan.”

Sejak saat itu, ia hanya memakan buah-buahan yang jatuh dari pepohonan. Ia berusaha keras bermeditasi tanpa henti hanya dalam tiga postur, yaitu: duduk, berdiri, dan berjalan, tanpa berbaring sama sekali. Alhasil, pada akhir hari ketujuh, ia mencapai Delapan Penyerapan Meditatif (jhàna) dan Lima Kekuatan Adibiasa (Abhiññà).

Source From :
CHRONICLE OF THE BUDDHA
Bhikkhu Kusaladhamma





1. SUMEDHA, THE BUDDHA-TO-BE

Four incalculable ages (asañkheyya) and a hundred thousand aeons (kappa) ago, in the flourishing City of Amaravatì, there lived a young son of a rich brahmin family named Sumedha. When he was still young, his parents passed away and left him with all their wealth. As a young brahmin, he studied the three Vedas, and before long he became expert and could recite them flawlessly.
When Sumedha had finished his education and come of age, the family treasurer brought him a list of treasures which he had kept since the passing away of Sumedha’s parents; the treasurer opened the treasure house—full of gold, silver, diamond, rubies, pearls and other valuables. The treasurer handed the entire wealth over to him, saying: “Young master, you inherit all this wealth which has come down from your mother’s side, your father’s side and from seven generations of your ancestors. You may do anything as you wish!”
One day, while he was sitting cross-legged in solitude, a thought occurred to him: “Miserable, indeed, is being born into this existence as the body will be plagued by old age, sickness and death. Only if I could abandon this body, would I be liberated from the misery of birth, old age, sickness and death. My parents, grandparents and ancestors could only amass the wealth, but they could not bring even a single gold coin with them when they passed away. I will also become old, sick, and finally dead one day. It will be good if, after having released this wealth, I leave the household life, go into the forest and become an ascetic. I will seek the path leading to the liberation from this bondage of life.”
Accordingly, after obtaining permission from the king, the mighty drum was beaten, and he proclaimed his great alms-giving to the whole City of Amaravatã: “Let whosoever desire my wealth come and take it!” Thus, people of various status, from various places, came and took Sumedha’s wealth as they wished.

Beginning the Ascetic Life
After the great act of charity, Sumedha renounced the world and left for the Himalayas on that very day. On reaching the foothills of the Himalayas, Sumedha walked along the hills and ravines, looking for a suitable place where he could live comfortably. There, he found a hermitage beside the river in the region of the Dhammika Mountain. After investigating that the leaf-hut belonged to no one, he decided to use it as his dwelling place. Then, he discarded his layman’s dress, donned the fibre-robe and made himself ascetic.
From that day onwards, he practised ascetic life without negligence. He understood that there are three categories of wrong thoughts—thoughts based on sense desire (kàma vitakka) leading one to sense-indulgence, thoughts based on ill-will (vyàpàda vitakka) leading one to killing, destroying and harming, and thoughts based on cruelty (vihimsa vitakka) leading one to causing harm and injury to others. Knowing this, the ascetic devoted himself totally to the practice of mental detachment and physical detachment (paviveka). Consequently, the next day he abandoned the hut and approached the foot of trees for his dwelling place.
The following morning, he entered a nearby village for alms-food. The villagers enthusiastically offered him choice food. After meal, he sat down thinking: “I became an ascetic not because I lacked food and nourishment. It would be good if I abstain from food made from cultivated grains and live only on the fruits that fall from trees.”
Since then, he only lived on the fruits that fall from trees. He made strenuous efforts to meditate incessantly only in the three postures of sitting, standing and walking, without lying down at all. As a result, at the end of the seventh day, he achieved eight attainments (jhàna) and the five supernormal powers (abhiññà).