3. MIMPI RATU MAHÀMÀYÀ
(Indonesian & English Translation)
Ratu sekarang telah mengandung seorang bayi laki-laki. Jika anak ini
meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi petapa, kelak Ia pasti
menjadi Buddha Mahatahu.
Lebih
dari dua ribu enam ratus tahun yang lalu, di India Utara, di kaki
Pegunungan Himalaya, tersebutlah sejumlah kerajaan besar dan kecil yang
diperintah oleh para raja. Salah satu kerajaan dimiliki oleh suku Sàkya,
dengan Kapilavatthu sebagai ibukotanya. Saat itu, rajanya berasal dari
kasta kesatria (khattiya), bernama Suddhodana.
Raja Suddhodana
menikah dengan seorang putri dari Kerajaan Koliya yang bernama Mahàmàyà
sebagai ratu utama. Mereka hidup bahagia. Seluruh rakyat di kerajaan itu
mencintai mereka karena Suddhodana adalah raja yang arif dan piawai.
Begitu pula dengan Ratu Mahàmàyà yang memiliki perangai moral yang
sepadan baiknya.
Sudah cukup lama mereka menikah, namun mereka
masih belum memiliki keturunan, terutama seorang putra yang diharapkan
menjadi raja kelak. Pada masa itu ada kebiasaan dari rakyat Sàkya untuk
merayakan perayaan tahunan yang disebut Uttaràsàlhanakkhatta selama
tujuh hari pada bulan Àsàlha. Ratu Mahàmàyà juga turut serta dalam
perayaan tersebut, yang terkenal karena diperindah dengan bunga-bunga,
wewangian, perhiasan, dan pantangan penuh terhadap minuman keras. Pada
hari ketujuh perayaan itu, pada hari bulan purnama Àsàlha, Ratu Mahàmàyà
bangun pagi-pagi, mandi dengan air wangi, dan memberikan dana yang
besar. Ia lalu memohon Delapan Aturan Moral dari gurunya dan
melaksanakannya sepanjang hari. Pada malam bulan purnama itu ia
bermimpi. Dalam mimpinya, ia merasa bahwa keempat raja dewa mengangkat
dan membawa dirinya duduk di kursi kerajaan menuju Manosilàtala, di
dekat Danau Anotatta di Himalaya. Di sana, ia ditempatkan di bawah
naungan sebatang pohon sàla.
Lalu, para istri dari keempat raja
dewa itu mendekati dan memandikannya di danau tersebut. Mereka
memakaikan busana surgawi, mengurapinya dengan minyak wangi, dan
meriasinya dengan bunga-bunga surgawi. Mereka membiarkan dirinya tidur
di dalam wisma keemasan yang terletak di sebuah gunung perak yang tidak
jauh dari danau tersebut. Dalam mimpi itu, tampak olehnya seekor gajah
putih yang membawa sekuntum teratai dengan belalainya yang berkilau.
Gajah itu muncul dan mengelilinginya tiga kali searah jarum jam, lalu
memasuki kandungannya melalui sisi kanan tubuhnya. Akhirnya, gajah itu
menghilang, dan sang ratu terjaga dari tidurnya.
Keesokan
paginya, ia menceritakan mimpinya kepada raja. Karena tidak mampu
menafsirkan mimpi itu, raja memanggil beberapa orang bijak (brahmin) dan
menanyakan artinya kepada mereka. Para bijak tersebut menjawab: “Raja
Agung, jangan khawatir! Sekarang ratu telah mengandung seorang bayi
laki-laki. Jika anak ini meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi
petapa, kelak Ia pasti menjadi Buddha Mahatahu.” Raja dan ratu merasa
sangat berbahagia mendengar hal ini.
Source From :
CHRONICLE OF THE BUDDHA
Bhikkhu Kusaladhamma
3. THE DREAM OF QUEEN MAHÀMÀYÀ
Over two thousand and six hundred years ago, in Northern India, at the
foothills of the Himalayas, there were a number of large and small
kingdoms ruled by kings. One of these kingdoms belonged to the Sàkyans,
and its royal city was called Kapilavatthu. At that time, the king was
of the Khattiya (Noble Warrior) race; his name was Suddhodana.
King Suddhodana was married to a beautiful Koliyan princess named
Mahàmàyà as his chief queen. They lived happily, and everyone in the
kingdom loved them because King Suddhodana was a wise and skilful king;
so was Queen Mahàmàyà, who possessed equally good moral character.
It had been quite a long time since they were married, but they had not
been favoured any children, especially a son who was expected to
succeed to the throne. There was a custom of the Sàkyans to celebrate an
annual festival called Uttaràsàlhanakkhatta, which fell in the month of
Àsàlha, for seven days. Queen Mahàmàyà also took part in the festival,
which was distinguished by beautification with flowers, perfumes,
ornaments and by total abstinence from liquor. On the seventh day of the
festival, on the full-moon day of Àsàlha, Queen Mahàmàyà woke up early,
took a perfumed bath and made a most generous donation. She then took
eight precepts from her teacher and spent the entire day by observing
the precepts. At that full-moon night, she had a dream. In her dreams,
she felt that four deva kings lifted and carried her along on a royal
couch to Manosilàtala, near the Anotatta Lake in the Himalayas. There,
she was placed under the shade of a sàla tree.
Then, the wives
of the four deva kings approached and bathed her in the lake; they
dressed her in celestial raiment, anointed her with perfumes and adorned
her with celestial flowers. They let her sleep in a golden mansion
inside a silver mountain not far from the lake. In her dream, she saw a
white elephant holding a white lotus flower in his gleaming trunk. The
elephant appeared and walked around her clockwise three times, and
entered into her womb from the right side. Finally, the elephant
disappeared, and she woke up.
Early in the morning, she told
the king about her dream. Not knowing how to interpret it, the king
summoned some wise men (brahmins) and asked them the meaning. The wise
men replied: “Great king, be not anxious! The queen has now conceived a
baby boy. If he renounces the household life as ascetic, he will surely
become an Omniscient Buddha.” Both the king and the queen were very
happy upon hearing this news.