Senin, 13 Maret 2017

3. MIMPI RATU MAHÀMÀYÀ


3. MIMPI RATU MAHÀMÀYÀ

(Indonesian & English Translation)

Ratu sekarang telah mengandung seorang bayi laki-laki. Jika anak ini meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi petapa, kelak Ia pasti menjadi Buddha Mahatahu.

Lebih dari dua ribu enam ratus tahun yang lalu, di India Utara, di kaki Pegunungan Himalaya, tersebutlah sejumlah kerajaan besar dan kecil yang diperintah oleh para raja. Salah satu kerajaan dimiliki oleh suku Sàkya, dengan Kapilavatthu sebagai ibukotanya. Saat itu, rajanya berasal dari kasta kesatria (khattiya), bernama Suddhodana.

Raja Suddhodana menikah dengan seorang putri dari Kerajaan Koliya yang bernama Mahàmàyà sebagai ratu utama. Mereka hidup bahagia. Seluruh rakyat di kerajaan itu mencintai mereka karena Suddhodana adalah raja yang arif dan piawai. Begitu pula dengan Ratu Mahàmàyà yang memiliki perangai moral yang sepadan baiknya.

Sudah cukup lama mereka menikah, namun mereka masih belum memiliki keturunan, terutama seorang putra yang diharapkan menjadi raja kelak. Pada masa itu ada kebiasaan dari rakyat Sàkya untuk merayakan perayaan tahunan yang disebut Uttaràsàlhanakkhatta selama tujuh hari pada bulan Àsàlha. Ratu Mahàmàyà juga turut serta dalam perayaan tersebut, yang terkenal karena diperindah dengan bunga-bunga, wewangian, perhiasan, dan pantangan penuh terhadap minuman keras. Pada hari ketujuh perayaan itu, pada hari bulan purnama Àsàlha, Ratu Mahàmàyà bangun pagi-pagi, mandi dengan air wangi, dan memberikan dana yang besar. Ia lalu memohon Delapan Aturan Moral dari gurunya dan melaksanakannya sepanjang hari. Pada malam bulan purnama itu ia bermimpi. Dalam mimpinya, ia merasa bahwa keempat raja dewa mengangkat dan membawa dirinya duduk di kursi kerajaan menuju Manosilàtala, di dekat Danau Anotatta di Himalaya. Di sana, ia ditempatkan di bawah naungan sebatang pohon sàla.

Lalu, para istri dari keempat raja dewa itu mendekati dan memandikannya di danau tersebut. Mereka memakaikan busana surgawi, mengurapinya dengan minyak wangi, dan meriasinya dengan bunga-bunga surgawi. Mereka membiarkan dirinya tidur di dalam wisma keemasan yang terletak di sebuah gunung perak yang tidak jauh dari danau tersebut. Dalam mimpi itu, tampak olehnya seekor gajah putih yang membawa sekuntum teratai dengan belalainya yang berkilau. Gajah itu muncul dan mengelilinginya tiga kali searah jarum jam, lalu memasuki kandungannya melalui sisi kanan tubuhnya. Akhirnya, gajah itu menghilang, dan sang ratu terjaga dari tidurnya.
hosting indonesia
Keesokan paginya, ia menceritakan mimpinya kepada raja. Karena tidak mampu menafsirkan mimpi itu, raja memanggil beberapa orang bijak (brahmin) dan menanyakan artinya kepada mereka. Para bijak tersebut menjawab: “Raja Agung, jangan khawatir! Sekarang ratu telah mengandung seorang bayi laki-laki. Jika anak ini meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjadi petapa, kelak Ia pasti menjadi Buddha Mahatahu.” Raja dan ratu merasa sangat berbahagia mendengar hal ini.

Source From : 
CHRONICLE OF THE BUDDHA
Bhikkhu Kusaladhamma





3. THE DREAM OF QUEEN MAHÀMÀYÀ


Over two thousand and six hundred years ago, in Northern India, at the foothills of the Himalayas, there were a number of large and small kingdoms ruled by kings. One of these kingdoms belonged to the Sàkyans, and its royal city was called Kapilavatthu. At that time, the king was of the Khattiya (Noble Warrior) race; his name was Suddhodana.

King Suddhodana was married to a beautiful Koliyan princess named Mahàmàyà as his chief queen. They lived happily, and everyone in the kingdom loved them because King Suddhodana was a wise and skilful king; so was Queen Mahàmàyà, who possessed equally good moral character.

It had been quite a long time since they were married, but they had not been favoured any children, especially a son who was expected to succeed to the throne. There was a custom of the Sàkyans to celebrate an annual festival called Uttaràsàlhanakkhatta, which fell in the month of Àsàlha, for seven days. Queen Mahàmàyà also took part in the festival, which was distinguished by beautification with flowers, perfumes, ornaments and by total abstinence from liquor. On the seventh day of the festival, on the full-moon day of Àsàlha, Queen Mahàmàyà woke up early, took a perfumed bath and made a most generous donation. She then took eight precepts from her teacher and spent the entire day by observing the precepts. At that full-moon night, she had a dream. In her dreams, she felt that four deva kings lifted and carried her along on a royal couch to Manosilàtala, near the Anotatta Lake in the Himalayas. There, she was placed under the shade of a sàla tree.

Then, the wives of the four deva kings approached and bathed her in the lake; they dressed her in celestial raiment, anointed her with perfumes and adorned her with celestial flowers. They let her sleep in a golden mansion inside a silver mountain not far from the lake. In her dream, she saw a white elephant holding a white lotus flower in his gleaming trunk. The elephant appeared and walked around her clockwise three times, and entered into her womb from the right side. Finally, the elephant disappeared, and she woke up.

Early in the morning, she told the king about her dream. Not knowing how to interpret it, the king summoned some wise men (brahmins) and asked them the meaning. The wise men replied: “Great king, be not anxious! The queen has now conceived a baby boy. If he renounces the household life as ascetic, he will surely become an Omniscient Buddha.” Both the king and the queen were very happy upon hearing this news.

Artikel Terkait