1. SUMEDHA, SANG CALON BUDDHA
(Indonesian & English Translation)
Orangtua, kakek-nenek, dan leluhurku hanya bisa menimbun kekayaan itu, namun tak sekeping emas pun dapat mereka bawa ketika mereka mati.
Empat kurun waktu tak terhingga (asañkheyya) dan seratus ribu kurun waktu yang sangat lama (kappa) yang telah silam, di Kota Amaravatã yang makmur, hiduplah anak lelaki bernama Sumedha dari sebuah keluarga brahmin yang kaya raya. Ketika ia masih belia, orangtuanya wafat dan meninggalkan seluruh kekayaan mereka untuknya. Sebagai brahmin muda, ia mempelajari ketiga Kitab Veda, dan tak lama kemudian ia mampu memahami dan dapat melafalkan kitab-kitab tersebut dengan sempurna.
Ketika Sumedha menyelesaikan pendidikannya dan beranjak dewasa, bendaharawan keluarga memberikannya senarai harta karun yang selama ini dijaga olehnya semenjak kematian orangtua Sumedha. Sang bendaharawan membuka tempat penyimpanan harta tersebut, yang penuh dengan emas, perak, berlian, rubi, mutiara, dan benda-benda berharga lainnya. Ia menyerahkan seluruh harta tersebut kepada Sumedha seraya berkata: “Tuan Muda, Anda mewarisi semua kekayaan ini, yang berasal dari keluarga ibu Anda, ayah Anda, dan dari tujuh generasi leluhur Anda. Anda boleh berbuat apa pun yang Anda inginkan!”
Suatu hari, tatkala Sumedha tengah duduk bersila dalam kesendirian, sebuah pemikiran terbersit dalam benaknya: “Sungguh menyedihkan terlahir dalam hidup ini karena tubuhku akan menjadi tua, sakit, dan mati. Hanya dengan meninggalkan tubuh inilah aku akan terbebas dari derita akibat lahir, tua, sakit, dan mati. Orangtua, kakek-nenek, dan leluhurku hanya bisa menimbun kekayaan itu, namun tak sekeping emas pun dapat mereka bawa ketika mereka mati. Suatu hari, aku pun akan menjadi tua, sakit, dan akhirnya mati. Alangkah baiknya jika setelah melepaskan semua harta ini aku meninggalkan hidup keduniawian, masuk ke hutan, dan menjadi petapa. Aku akan mencari jalan menuju Pembebasan dari belenggu kehidupan ini.”
Karenanya, setelah mendapat izin dari raja, genderang pun ditabuh, dan ia mengumumkan pemberian dana besar-besaran ke segenap penjuru Kota Amaravatã: “Barang siapa yang menginginkan kekayaanku, silakan datang dan mengambilnya!” Demikianlah, rakyat dari pelbagai kalangan dan berbagai tempat datang untuk mengambil harta Sumedha dengan sesuka hati.
Memulai Hidup Sebagai Petapa
Setelah tindakan dana besar-besaran tersebut, Sumedha melepaskan keduniawian dan menuju ke Pegunungan Himalaya pada hari itu juga. Setelah mencapai kaki pegunungan, Sumedha melalui bukit dan lembah guna mencari tempat yang sesuai untuk hidup dengan tenang. Di sana ia menemukan sebuah pertapaan di tepi sungai di sekitar Gunung Dhammika. Setelah mengetahui bahwa gubuk daun itu tiada pemiliknya, ia memutuskan untuk menggunakannya sebagai tempat berdiam. Ia lalu membuang busana awamnya, mengenakan jubah serat, dan menjadi petapa.
Semenjak hari itu, ia menjalani hidup sebagai petapa dengan tekun. Ia menyadari adanya ketiga jenis pemikiran buruk, yaitu: pemikiran yang berdasar pada nafsu indrawi (kàma vitakka) yang mengakibatkan pemuasan indra, pemikiran yang berdasar pada niat buruk (vyàpàda vitakka) yang mengakibatkan pembunuhan, penghancuran, dan perusakan, serta pemikiran yang berdasar pada kekejaman (vihiÿsa vitakka) yang merugikan dan menganiaya pihak lain. Mengetahui hal ini, sang petapa mencurahkan diri sepenuhnya melatih ketidakmelekatan batin dan jasmani (paviveka). Karenanya, keesokan harinya ia meninggalkan gubuk tersebut dan berdiam di kaki pepohonan.
Pagi berikutnya, ia menuju ke desa terdekat untuk menerima dana makanan. Dengan gembira, para penduduk desa mendanakan makanan pilihan kepadanya. Setelah bersantap, ia duduk dan berpikir: “Aku menjadi petapa bukan karena kekurangan makanan dan gizi. Alangkah baiknya jika aku menghindari makanan yang terbuat dari biji-bijian yang ditanam dan hanya bertahan hidup dari buah-buahan yang jatuh dari pepohonan.”
Sejak saat itu, ia hanya memakan buah-buahan yang jatuh dari pepohonan. Ia berusaha keras bermeditasi tanpa henti hanya dalam tiga postur, yaitu: duduk, berdiri, dan berjalan, tanpa berbaring sama sekali. Alhasil, pada akhir hari ketujuh, ia mencapai Delapan Penyerapan Meditatif (jhàna) dan Lima Kekuatan Adibiasa (Abhiññà).
Source From :
CHRONICLE OF THE BUDDHA
Bhikkhu Kusaladhamma
1. SUMEDHA, THE BUDDHA-TO-BE
Four incalculable ages (asañkheyya) and a hundred thousand aeons (kappa) ago, in the flourishing City of Amaravatì, there lived a young son of a rich brahmin family named Sumedha. When he was still young, his parents passed away and left him with all their wealth. As a young brahmin, he studied the three Vedas, and before long he became expert and could recite them flawlessly.
When Sumedha had finished his education and come of age, the family treasurer brought him a list of treasures which he had kept since the passing away of Sumedha’s parents; the treasurer opened the treasure house—full of gold, silver, diamond, rubies, pearls and other valuables. The treasurer handed the entire wealth over to him, saying: “Young master, you inherit all this wealth which has come down from your mother’s side, your father’s side and from seven generations of your ancestors. You may do anything as you wish!”
One day, while he was sitting cross-legged in solitude, a thought occurred to him: “Miserable, indeed, is being born into this existence as the body will be plagued by old age, sickness and death. Only if I could abandon this body, would I be liberated from the misery of birth, old age, sickness and death. My parents, grandparents and ancestors could only amass the wealth, but they could not bring even a single gold coin with them when they passed away. I will also become old, sick, and finally dead one day. It will be good if, after having released this wealth, I leave the household life, go into the forest and become an ascetic. I will seek the path leading to the liberation from this bondage of life.”
Accordingly, after obtaining permission from the king, the mighty drum was beaten, and he proclaimed his great alms-giving to the whole City of Amaravatã: “Let whosoever desire my wealth come and take it!” Thus, people of various status, from various places, came and took Sumedha’s wealth as they wished.
Beginning the Ascetic Life
After the great act of charity, Sumedha renounced the world and left for the Himalayas on that very day. On reaching the foothills of the Himalayas, Sumedha walked along the hills and ravines, looking for a suitable place where he could live comfortably. There, he found a hermitage beside the river in the region of the Dhammika Mountain. After investigating that the leaf-hut belonged to no one, he decided to use it as his dwelling place. Then, he discarded his layman’s dress, donned the fibre-robe and made himself ascetic.
From that day onwards, he practised ascetic life without negligence. He understood that there are three categories of wrong thoughts—thoughts based on sense desire (kàma vitakka) leading one to sense-indulgence, thoughts based on ill-will (vyàpàda vitakka) leading one to killing, destroying and harming, and thoughts based on cruelty (vihimsa vitakka) leading one to causing harm and injury to others. Knowing this, the ascetic devoted himself totally to the practice of mental detachment and physical detachment (paviveka). Consequently, the next day he abandoned the hut and approached the foot of trees for his dwelling place.
The following morning, he entered a nearby village for alms-food. The villagers enthusiastically offered him choice food. After meal, he sat down thinking: “I became an ascetic not because I lacked food and nourishment. It would be good if I abstain from food made from cultivated grains and live only on the fruits that fall from trees.”
Since then, he only lived on the fruits that fall from trees. He made strenuous efforts to meditate incessantly only in the three postures of sitting, standing and walking, without lying down at all. As a result, at the end of the seventh day, he achieved eight attainments (jhàna) and the five supernormal powers (abhiññà).