2. CITA-CITA SUMEDHA UNTUK MENJADI
BUDDHA MAHATAHU
(Indonesian & English Translation)
Dengan kepiawaianku dalam keyakinan, daya, dan kebijaksanaan, aku akan
mengerahkan usaha sebaik mungkin untuk menjadi Buddha Mahatahu dan
membebaskan segenap makhluk dari lingkaran kelahiran, samudra
penderitaan ini.
Setelah
berhasil dalam praktik tapanya, Petapa Sumedha melewatkan waktunya di
dalam hutan dengan menikmati kebahagiaan jhàna. Ia sama sekali tidak
menyadari kemunculan Buddha Dìpañkara di dunia ini.
Pada suatu
hari, Buddha Dìpañkara, diiringi oleh empat ratus ribu Arahanta, datang
ke Kota Rammavatì dan tinggal di Wihara Sudassana. Pada kesempatan yang
penuh berkah tersebut, warga Rammavatã mengunjungi Yang Terberkahi
serta mengundang-Nya beserta para siswa untuk menerima dana makanan esok
hari. Kemudian, mereka melakukan persiapan yang diperlukan seperti
membersihkan dan menghiasi kota. Mereka juga memperbaiki jalan yang akan
dilintasi oleh Yang Terberkahi dan para siswa-Nya menuju kota itu.
Mereka menambal lubang jalan dengan tanah, memperbaiki kerusakan akibat
banjir, meratakan tanah berlumpur yang tidak rata, dan melapisi jalanan
dengan pasir putih bak mutiara.
Pada waktu itu, Petapa Sumedha
tengah melayang di udara dari tempat pertapaannya. Tatkala menempuh
perjalanan udara, ia melihat warga Rammavatã tengah memperbaiki jalan
dan menghiasi kota dengan riang gembira. Terdorong keinginan mengetahui
apa yang sedang terjadi di bawah sana, ia turun dan berdiri di tempat
yang sesuai. Lalu ia bertanya: “Kalian sedang memperbaiki jalan dengan
begitu gembira dan bersemangat. Untuk siapakah kalian memperbaiki
jalan?”
Para warga menjawab: “O Petapa Sumedha, telah muncul di
dunia ini Buddha Mahatahu Dìpañkara, yang telah menundukkan kelima
kekuatan jahat Màra; Ialah Yang Mahasuci di seluruh dunia. Kami
memperbaiki jalan ini untuk-Nya.”
Begitu Petapa Sumedha
mendengar kata “Buddha”, hatinya dipenuhi sukacita. Terpikir olehnya:
“Sesungguhnya, sangat jarang dan sulit munculnya sesosok Buddha di dunia
ini. Alangkah beruntungnya jika aku dapat melayani Yang Terberkahi.
Inilah waktu yang tepat bagiku untuk menanam benih jasa luhur di ladang
yang subur, yaitu Buddha Dìpañkara ini.”
Ia lalu memohon: “O
Para Warga, sisihkanlah bagi saya sepenggal jalan ini! Saya ingin turut
serta memperbaiki jalan untuk menyambut kunjungan Yang Terberkahi.”
“Baiklah,” kata para warga. Mereka lalu menyisihkan sebagian besar
jalan yang berlumpur, tidak rata, dan sulit diperbaiki. Para warga
beranggapan bahwa perbaikan itu akan mudah bagi sang petapa yang
memiliki kesaktian tinggi.
Lalu Petapa Sumedha berpikir: “Aku
bisa saja mengerahkan kesaktianku untuk memperbaiki jalan ini dengan
mudah, namun jika ini kulakukan, para warga mungkin tidak akan terlalu
menaruh hormat. Sebaiknya aku melakukan kewajibanku hanya dengan tenaga
jasmaniku saja.”
Ketika Petapa Sumedha tengah memperbaiki
jalan itu, Buddha Dìpañkara beserta keempat ratus ribu Arahanta tiba
melalui jalan tersebut. Para dewa dan segenap warga Rammavatì menyambut
mereka dengan tabuhan genderang. Pada waktu itu, manusia dapat terlihat
oleh para dewa dan para dewa dapat terlihat oleh manusia. Mereka semua
mengungkapkan sukacita dengan melantunkan nyanyi-nyanyian untuk
menghormati Yang Terberkahi. Para dewa dan manusia memainkan alat
musiknya masing-masing. Ketika para dewa menaburkan bunga surgawi
seperti mandàrava, paduma, dan kovilàra ke segenap penjuru, manusia di
dunia juga melakukan hal yang sama dengan menaburkan bunga-bunga yang
indah nan harum, seperti campà, sarala, mucalinda, nàga, punnàga, dan
ketakã, untuk memuja Yang Terberkahi.
Petapa Sumedha terpukau
ketika menyaksikan Buddha Dìpañkara. Ia menatap Yang Terberkahi, yang
terkaruniai tiga puluh dua markah Makhluk Agung (Mahàpurisa) dan delapan
puluh markah kecil lainnya. Ia menyaksikan pribadi Buddha di puncak
keagungan-Nya; tubuh-Nya cemerlang bagaikan emas, dengan kilauan aura
dan enam cahaya terpancar dari tubuh-Nya.
Lalu, ia bertekad:
“Aku belum selesai memperbaiki bagian jalan yang berlumpur ini, padahal
Yang Terberkahi tengah mendekat. Aku tak akan membiarkan-Nya melewati
lumpur dan merasa tidak nyaman. Hari ini juga aku akan mengorbankan
hidupku demi Yang Terberkahi. Biarlah Yang Terberkahi dengan keempat
ratus ribu Arahanta pengiring-Nya menapaki punggungku, menggunakan
tubuhku sebagai jembatan untuk menyeberangi bagian jalan yang kurang
baik ini. Dengan melakukan ini, kesejahteraan dan kebahagiaan yang
panjang pasti akan datang kepadaku.”
Lalu, ia menelungkupkan
diri pada rawa berlumpur itu. Seraya melakukan hal tersebut, timbul
dalam pikirannya cita-cita untuk menjadi Buddha: “Jika memang
kukehendaki, bisa saja aku mengenyahkan semua noda batin (àsava) dan
membasmi segenap kotoran batin (kilesa) hari ini juga dan menjadi Arahà.
Akan tetapi, apalah gunanya menghindari lingkaran kelahiran dan
kematian (samsàra) ini sendirian saja? Dengan kepiawaianku dalam
keyakinan, daya, dan kebijaksanaan, aku akan mengerahkan usaha sebaik
mungkin untuk menjadi Buddha Mahatahu dan membebaskan segenap makhluk
dari lingkaran kelahiran, samudra penderitaan ini.”
Di antara
kerumunan orang tersebut, terdapat seorang gadis brahmin bernama Sumittà
yang datang untuk berkumpul bersama orang-orang untuk menyambut Yang
Terberkahi. Ia membawa delapan tangkai teratai untuk dipersembahkan
kepada Yang Terberkahi. Tidak terlalu jauh dari tempatnya berdiri,
secara tak sengaja, tampak olehnya Petapa Sumedha yang tengah bertekad
untuk menjadi Buddha. Begitu ia memandang sang petapa, ia merasakan
kasih yang sangat mendalam terhadapnya. Ia lalu mempersembahkan lima
tangkai teratai kepadanya seraya berkata: “Petapa mulia, semoga saya
bisa menjadi pendamping Anda selama Anda memenuhi Kesempurnaan (Pàramì)
untuk menjadi Buddha.”
Petapa Sumedha menerima teratai
tersebut dari Sumittà. Tatkala Petapa Sumedha mempersembahkannya kepada
Buddha Dãpaïkara, ia bertekad agar bisa menjadi Buddha Mahatahu. Sumittà
juga mempersembahkan ketiga batang teratai sisanya kepada Yang
Terberkahi.
Waktu itu, semua orang merenungkan betapa
langkanya kemunculan seorang Buddha. Mereka juga bercita-cita menjadi
Buddha, namun hanya Petapa Sumedha yang memenuhi semua prasyarat yang
diperlukan untuk pencapaian tersebut. Buddha Dãpaïkara tiba di dekat
Petapa Sumedha yang tengah bertelungkup di lumpur, lalu menyerukan
nubuatnya: “O Para Bhikkhu, Sumedha, petapa ini, akan menjadi Yang
Tercerahkan di antara para brahmà, dewa, dan manusia dengan nama Gotama
setelah memenuhi Kesempurnaannya selama empat kurun waktu tak terhingga
dan seratus ribu kurun waktu yang sangat lama sejak saat ini.”
Melihat pemandangan yang terjadi antara Petapa Sumedha dan Sumittà,
Yang Terberkahi mengutarakan ramalan-Nya di hadapan khalayak ramai: “O
Sumedha, gadis ini, Sumittà, akan menjadi pendampingmu. Ia akan hidup
bersamamu, membantumu untuk menjadi Buddha dengan semangat dan tindakan
yang sebanding.”
Setelah Buddha Dìpañkara menyatakan
ramalan-Nya, Ia dan keempat ratus ribu siswa Arahanta meneruskan
perjalanan ke Kota Rammavatì, dengan sang petapa tetap berada di sisi
kanan mereka. Begitu pula para dewa dan orang-orang di sana, mereka pun
berlalu setelah menyembah hormat pada Petapa Sumedha dan menghormatinya
dengan bunga-bunga dan wewangian.
Setelah itu, Petapa Sumedha
bangkit dengan sukacita dari posisi telungkupnya dan duduk pada gundukan
bunga yang ditaburkan untuk menghormatinya. Batinnya dipenuhi sukacita
dan kebahagiaan. Para dewa dan brahmà yang datang dari sepuluh ribu tata
dunia memberikan sanjungan dan dorongan kepadanya: “Sumedha yang luhur,
teruslah berjuang dengan kesungguhan dan ketekunan! Jangan pernah
mundur! Teruslah berusaha! Tiada keraguan dalam diri kami bahwa engkau
pasti akan menjadi Buddha.”
Bakal Buddha (Bodhisatta) Sumedha
merasa sangat bahagia dengan nubuat Buddha Dìpañkara dan dengan dorongan
para dewa dan brahmà tersebut. Ia merenung: “Para Buddha bukanlah sosok
yang berkata-kata meragukan. Mereka juga tidak mengatakan hal yang
sia-sia. Tidak pernah perkataan Mereka terbukti salah. Pasti, aku akan
menjadi Buddha.”
Kemudian, ia menyelidiki bahwa terdapat
Sepuluh Kesempurnaan (Dasa Pàramì) yang sangat hakiki untuk mencapai
Kebuddhaan, yaitu: (i) kedermawanan (dàna), (ii) moralitas (sìla), (iii)
pelepasan keduniawian (nekkhamma), (iv) kebijaksanaan (paññà), (v) daya
(viriya), (vi) kesabaran (khanti), (vii) kejujuran (sacca), (viii)
keteguhan (adhiññhàna), (ix) cinta kasih (mettà), dan (x)
ketenangseimbangan (upekkhà).
Ia juga mengetahui bahwa Sepuluh
Kesempurnaan itu harus dipenuhi dalam tiga tahap, yaitu: (i) merelakan
benda-benda luar merupakan pelaksanaan dari Kesempurnaan Biasa (Pàramì),
(ii) merelakan anggota tubuh sendiri adalah pelaksanaan dari
Kesempurnaan Tinggi (Upapàramì), dan (iii) merelakan hidup adalah
pelaksanaan dari Kesempurnaan Mutlak (Paramattha Pàramì).
Sejak saat itu, Bodhisatta Sumedha memenuhi Kesempurnaan-Kesempurnaan
tersebut dalam berulang kali kelahirannya, demi kesejahteraan semua
makhluk. Dan sebelum kehidupan terakhirnya, ia terlahir kembali sebagai
dewa di Surga Tusita dengan nama Dewa Setaketu. Ia menikmati segala
kebahagiaan hidup surgawi untuk jangka waktu yang lama sembari menunggu
waktu yang tepat untuk menjadi Buddha.
Source From :
CHRONICLE OF THE BUDDHA
Bhikkhu Kusaladhamma
2. SUMEDHA’S ASPIRATION
TO BECOME AN OMNISCIENT BUDDHA
Having been accomplished in the practice of asceticism, the ascetic
Sumedha spent his time enjoying the bliss of jhàna in the forest and was
completely unaware of the appearance of the Buddha Dìpañkara in the
world.
One day, the Buddha Dìpañkara—accompanied by four
hundred thousand Arahants—came to the City of Rammavatì and stayed at
the Sudassana Monastery. At this auspicious opportunity, the citizens of
Rammavatã approached the Blessed One and invited Him and His disciples
for the morrow’s meal. Then, they made the necessary preparations such
as cleaning and decorating the city. They also attended to mending of
the road which the Blessed One and His disciples would pass through to
the city. They filled holes with earth, mended the breaches caused by
floods, levelled the uneven muddy ground, and covered the road with
pearl-white sand.
At that time, the ascetic Sumedha levitated
from his hermitage, and while travelling through space, he saw the
citizens of Rammavatì engaging cheerfully in road-mending and
decorating. Wondering what was going on below, he alighted and stood at
an appropriate place. Then, he asked: “You are mending the road so
happily and enthusiastically. For whose benefit are you mending the
road?”
The citizens answered: “O ascetic Sumedha, there has
appeared in this world the Omniscient Buddha Dìpañkara, who has
conquered the five evil forces of Màra, and who is the Supreme Lord of
the whole world. We are mending the road for His benefit.”
As soon
as ascetic Sumedha heard the word “Buddha”, his heart was filled with
joy. He thought: “Rare and difficult, indeed, is the appearance of a
Buddha in this world. How fortunate I will be should I be able to render
my service to the Blessed One. This is the right moment for me to sow
the excellent seeds of merit in the fertile field, namely this Buddha
Dìpañkara.”
He then asked: “O men, please allot me a stretch
of the road! I wish to participate in your road-mending work for the
Blessed One’s visit.”
“Very well,” said the people, and they
allotted him a big, swampy and uneven part of the road which would be
difficult to mend; they considered that it would be easy for the
ascetic, who had great supernatural powers.
Then, the ascetic
Sumedha thought: “I can use my supernatural powers to mend this road
easily, but if I do so the people may not think of it highly. I should
perform my duties with my own physical labour only.”
When the
ascetic Sumedha was still mending the road, the Buddha Dìpañkara and His
four hundred thousand Arahants came along the road. Devas and all the
citizens of Rammavatì welcomed them with the beating of drums. At that
time, human beings were visible to the devas and the devas were visible
to human beings. They expressed their joy by singing songs honouring the
Blessed One. Both the devas and the people were playing their
respective musical instruments. While the devas strewed celestial
flowers such as mandàrava, paduma and kovilàra all over the places, the
earth-bound humans also did similarly with the beautiful and fragrant
flowers, such as campà, sarala, mucalinda, nàga, punnàga and ketakã, in
adoration to the Blessed One.
The ascetic Sumedha was amazed
on seeing the Blessed One. He gazed at the Blessed One, who was endowed
with the thirty-two marks of a Great Man (Mahàpurisa) and eighty minor
marks. He witnessed the Buddha’s personality at the height of glory; His
body was as bright as gold, with a brilliant aura and six rays
emanating from His body.
Then, he decided: “I have not
finished mending this part of muddy road, but the Blessed One is
approaching here. I will not let Him tread on the mud and suffer
discomfort. I will sacrifice my life in the presence of the Blessed One
today. Let the Blessed One with all His four hundred thousand Arahants
walk on my back, using my body as a bridge to cross over this unpleasant
part of the road. By doing so, long-lasting welfare and happiness will
definitely accrue to me.”
Then, he laid prostrate on the murky
swamp. And while doing so, there arose in his mind an aspiration to
become a Buddha: “If I so desire, I can eliminate all cankers (àsava)
and eradicate all defilements (kilesa) on this very day and become an
Arahant. But, what is the advantage of selfishly escaping the cycle of
births (samsàra) alone? With my prowess in faith, energy and wisdom, I
will exert my utmost effort for the attainment of Omniscient Buddhahood
and liberate all beings from the cycle of births, the sea of suffering.”
Among the crowds, there was a young brahmin maiden named Sumittà, who
came to join the people gathering in the presence of the Blessed One.
She brought with her eight stalks of lotus for offering to the Blessed
One. At a place not too far from where she was standing, by coincidence,
she saw the ascetic Sumedha, who was making his resolution to attain
Buddhahood. As soon as her eyes fell on the ascetic, she was seized with
a sudden great love for him. Then, she offered him her five stalks of
lotus, saying: “Venerable ascetic, may I be your partner throughout the
period you are fulfilling the Perfections for Buddhahood.”
The
ascetic Sumedha accepted the lotus stalks from Sumittà. And while he
offered them to the Buddha Dãpaïkara, he prayed for the attainment of
Omniscient Buddhahood. Sumittà also offered the remaining three stalks
to the Blessed One.
At that time, all the people,
contemplating the rare appearance of a Buddha, also aspired to
Buddhahood, but only the ascetic Sumedha was fully endowed with all the
required qualifications for that attainment. The Buddha Dãpaïkara came
towards the ascetic Sumedha, who was lying on the mud and uttered His
prophecy: “O bhikkhus, this Sumedha the ascetic will become an
Enlightened One among brahmàs, devas and human beings by the name of
Gotama after fulfilling his Perfections (Pàramì) for four incalculable
ages and a hundred thousand aeons from now.”
And observing the
scene that had taken place between the ascetic Sumedha and Sumittà, the
Blessed One declared a prophecy in the midst of the multitude: “O
Sumedha, this girl Sumittà will be your partner. She will share life
with you, assisting you with equal fervour and deed for your attainment
of Buddhahood.”
After the Buddha Dãpaïkara declared His
prophecy, He and His four hundred thousand Arahant disciples proceeded
to the City of Rammavatì, keeping the ascetic Sumedha on their right. So
did the devas and the people depart after paying obeisance to the
ascetic Sumedha and honouring him with flowers and scents.
Thereafter, the ascetic Sumedha rose joyfully from his prostrate
position and sat down on a huge pile of flowers that were strewn in his
honour, his mind suffused with joy and happiness. The devas and brahmàs,
who had come from the ten thousand worlds, spoke words of praise and
encouragement to the ascetic: “Noble Sumedha, strive on earnestly with
constant diligence! There should be no retreat. Proceed with endeavour!
No doubt in us that you will certainly become a Buddha.”
The
Buddha-to-be (Bodhisatta) Sumedha was delighted with both the prophetic
words of the Buddha Dìpañkara and the encouraging words of the devas and
brahmàs. He reflected thus: “Buddhas are not speakers of ambiguous
words, nor are they given to speaking of futile things. Never have their
words been proved wrong. Surely, I will become a Buddha.”
Then, he investigated that there were the Ten Perfections (Dasa Pàramì)
which were essential for Buddhahood, namely: (i) perfection of
alms-giving (dàna), (ii) perfection of morality (sìla), (iii) perfection
of renunciation (nekkhamma), (iv) perfection of wisdom (paññà), (v)
perfection of energy (viriya), (vi) perfection of forbearance (khanti),
(vii) perfection of truthfulness (sacca), (viii) perfection of
resolution (adhiññhàna), (ix) perfection of loving-kindness (mettà), and
(x) perfection of equanimity (upekkhà).
He also came to know
that the Ten Perfections had to be performed in all three stages,
namely: (i) giving up external things is an exercise of the Ordinary
Perfection (Pàramì), (ii) giving up one’s limbs is an exercise of the
Higher Perfection (Upapàramì), and (iii) giving up one’s life is an
exercise of the Highest Perfection (Paramattha Pàramì).
From
then onwards, the Bodhisatta Sumedha exercised the Perfections in his
many rounds of existence for the welfare of all beings. And in his
penultimate life, he was reborn as a deva in the Tusita Heaven by the
name of Deva Setaketu. He was enjoying all the pleasure of celestial
life for a long time waiting the right time to become a Buddha.