Senin, 13 Maret 2017

2. CITA-CITA SUMEDHA UNTUK MENJADI BUDDHA MAHATAHU




2. CITA-CITA SUMEDHA UNTUK MENJADI
BUDDHA MAHATAHU
(Indonesian & English Translation)


Dengan kepiawaianku dalam keyakinan, daya, dan kebijaksanaan, aku akan mengerahkan usaha sebaik mungkin untuk menjadi Buddha Mahatahu dan membebaskan segenap makhluk dari lingkaran kelahiran, samudra penderitaan ini.

Setelah berhasil dalam praktik tapanya, Petapa Sumedha melewatkan waktunya di dalam hutan dengan menikmati kebahagiaan jhàna. Ia sama sekali tidak menyadari kemunculan Buddha Dìpañkara di dunia ini.

Pada suatu hari, Buddha Dìpañkara, diiringi oleh empat ratus ribu Arahanta, datang ke Kota Rammavatì dan tinggal di Wihara Sudassana. Pada kesempatan yang penuh berkah tersebut, warga Rammavatã mengunjungi Yang Terberkahi serta mengundang-Nya beserta para siswa untuk menerima dana makanan esok hari. Kemudian, mereka melakukan persiapan yang diperlukan seperti membersihkan dan menghiasi kota. Mereka juga memperbaiki jalan yang akan dilintasi oleh Yang Terberkahi dan para siswa-Nya menuju kota itu. Mereka menambal lubang jalan dengan tanah, memperbaiki kerusakan akibat banjir, meratakan tanah berlumpur yang tidak rata, dan melapisi jalanan dengan pasir putih bak mutiara.

Pada waktu itu, Petapa Sumedha tengah melayang di udara dari tempat pertapaannya. Tatkala menempuh perjalanan udara, ia melihat warga Rammavatã tengah memperbaiki jalan dan menghiasi kota dengan riang gembira. Terdorong keinginan mengetahui apa yang sedang terjadi di bawah sana, ia turun dan berdiri di tempat yang sesuai. Lalu ia bertanya: “Kalian sedang memperbaiki jalan dengan begitu gembira dan bersemangat. Untuk siapakah kalian memperbaiki jalan?”
Para warga menjawab: “O Petapa Sumedha, telah muncul di dunia ini Buddha Mahatahu Dìpañkara, yang telah menundukkan kelima kekuatan jahat Màra; Ialah Yang Mahasuci di seluruh dunia. Kami memperbaiki jalan ini untuk-Nya.”

Begitu Petapa Sumedha mendengar kata “Buddha”, hatinya dipenuhi sukacita. Terpikir olehnya: “Sesungguhnya, sangat jarang dan sulit munculnya sesosok Buddha di dunia ini. Alangkah beruntungnya jika aku dapat melayani Yang Terberkahi. Inilah waktu yang tepat bagiku untuk menanam benih jasa luhur di ladang yang subur, yaitu Buddha Dìpañkara ini.”

Ia lalu memohon: “O Para Warga, sisihkanlah bagi saya sepenggal jalan ini! Saya ingin turut serta memperbaiki jalan untuk menyambut kunjungan Yang Terberkahi.”
“Baiklah,” kata para warga. Mereka lalu menyisihkan sebagian besar jalan yang berlumpur, tidak rata, dan sulit diperbaiki. Para warga beranggapan bahwa perbaikan itu akan mudah bagi sang petapa yang memiliki kesaktian tinggi.

Lalu Petapa Sumedha berpikir: “Aku bisa saja mengerahkan kesaktianku untuk memperbaiki jalan ini dengan mudah, namun jika ini kulakukan, para warga mungkin tidak akan terlalu menaruh hormat. Sebaiknya aku melakukan kewajibanku hanya dengan tenaga jasmaniku saja.”

Ketika Petapa Sumedha tengah memperbaiki jalan itu, Buddha Dìpañkara beserta keempat ratus ribu Arahanta tiba melalui jalan tersebut. Para dewa dan segenap warga Rammavatì menyambut mereka dengan tabuhan genderang. Pada waktu itu, manusia dapat terlihat oleh para dewa dan para dewa dapat terlihat oleh manusia. Mereka semua mengungkapkan sukacita dengan melantunkan nyanyi-nyanyian untuk menghormati Yang Terberkahi. Para dewa dan manusia memainkan alat musiknya masing-masing. Ketika para dewa menaburkan bunga surgawi seperti mandàrava, paduma, dan kovilàra ke segenap penjuru, manusia di dunia juga melakukan hal yang sama dengan menaburkan bunga-bunga yang indah nan harum, seperti campà, sarala, mucalinda, nàga, punnàga, dan ketakã, untuk memuja Yang Terberkahi.

Petapa Sumedha terpukau ketika menyaksikan Buddha Dìpañkara. Ia menatap Yang Terberkahi, yang terkaruniai tiga puluh dua markah Makhluk Agung (Mahàpurisa) dan delapan puluh markah kecil lainnya. Ia menyaksikan pribadi Buddha di puncak keagungan-Nya; tubuh-Nya cemerlang bagaikan emas, dengan kilauan aura dan enam cahaya terpancar dari tubuh-Nya.

Lalu, ia bertekad: “Aku belum selesai memperbaiki bagian jalan yang berlumpur ini, padahal Yang Terberkahi tengah mendekat. Aku tak akan membiarkan-Nya melewati lumpur dan merasa tidak nyaman. Hari ini juga aku akan mengorbankan hidupku demi Yang Terberkahi. Biarlah Yang Terberkahi dengan keempat ratus ribu Arahanta pengiring-Nya menapaki punggungku, menggunakan tubuhku sebagai jembatan untuk menyeberangi bagian jalan yang kurang baik ini. Dengan melakukan ini, kesejahteraan dan kebahagiaan yang panjang pasti akan datang kepadaku.”

Lalu, ia menelungkupkan diri pada rawa berlumpur itu. Seraya melakukan hal tersebut, timbul dalam pikirannya cita-cita untuk menjadi Buddha: “Jika memang kukehendaki, bisa saja aku mengenyahkan semua noda batin (àsava) dan membasmi segenap kotoran batin (kilesa) hari ini juga dan menjadi Arahà. Akan tetapi, apalah gunanya menghindari lingkaran kelahiran dan kematian (samsàra) ini sendirian saja? Dengan kepiawaianku dalam keyakinan, daya, dan kebijaksanaan, aku akan mengerahkan usaha sebaik mungkin untuk menjadi Buddha Mahatahu dan membebaskan segenap makhluk dari lingkaran kelahiran, samudra penderitaan ini.”

Di antara kerumunan orang tersebut, terdapat seorang gadis brahmin bernama Sumittà yang datang untuk berkumpul bersama orang-orang untuk menyambut Yang Terberkahi. Ia membawa delapan tangkai teratai untuk dipersembahkan kepada Yang Terberkahi. Tidak terlalu jauh dari tempatnya berdiri, secara tak sengaja, tampak olehnya Petapa Sumedha yang tengah bertekad untuk menjadi Buddha. Begitu ia memandang sang petapa, ia merasakan kasih yang sangat mendalam terhadapnya. Ia lalu mempersembahkan lima tangkai teratai kepadanya seraya berkata: “Petapa mulia, semoga saya bisa menjadi pendamping Anda selama Anda memenuhi Kesempurnaan (Pàramì) untuk menjadi Buddha.”

Petapa Sumedha menerima teratai tersebut dari Sumittà. Tatkala Petapa Sumedha mempersembahkannya kepada Buddha Dãpaïkara, ia bertekad agar bisa menjadi Buddha Mahatahu. Sumittà juga mempersembahkan ketiga batang teratai sisanya kepada Yang Terberkahi.

Waktu itu, semua orang merenungkan betapa langkanya kemunculan seorang Buddha. Mereka juga bercita-cita menjadi Buddha, namun hanya Petapa Sumedha yang memenuhi semua prasyarat yang diperlukan untuk pencapaian tersebut. Buddha Dãpaïkara tiba di dekat Petapa Sumedha yang tengah bertelungkup di lumpur, lalu menyerukan nubuatnya: “O Para Bhikkhu, Sumedha, petapa ini, akan menjadi Yang Tercerahkan di antara para brahmà, dewa, dan manusia dengan nama Gotama setelah memenuhi Kesempurnaannya selama empat kurun waktu tak terhingga dan seratus ribu kurun waktu yang sangat lama sejak saat ini.”

Melihat pemandangan yang terjadi antara Petapa Sumedha dan Sumittà, Yang Terberkahi mengutarakan ramalan-Nya di hadapan khalayak ramai: “O Sumedha, gadis ini, Sumittà, akan menjadi pendampingmu. Ia akan hidup bersamamu, membantumu untuk menjadi Buddha dengan semangat dan tindakan yang sebanding.”

Setelah Buddha Dìpañkara menyatakan ramalan-Nya, Ia dan keempat ratus ribu siswa Arahanta meneruskan perjalanan ke Kota Rammavatì, dengan sang petapa tetap berada di sisi kanan mereka. Begitu pula para dewa dan orang-orang di sana, mereka pun berlalu setelah menyembah hormat pada Petapa Sumedha dan menghormatinya dengan bunga-bunga dan wewangian.

Setelah itu, Petapa Sumedha bangkit dengan sukacita dari posisi telungkupnya dan duduk pada gundukan bunga yang ditaburkan untuk menghormatinya. Batinnya dipenuhi sukacita dan kebahagiaan. Para dewa dan brahmà yang datang dari sepuluh ribu tata dunia memberikan sanjungan dan dorongan kepadanya: “Sumedha yang luhur, teruslah berjuang dengan kesungguhan dan ketekunan! Jangan pernah mundur! Teruslah berusaha! Tiada keraguan dalam diri kami bahwa engkau pasti akan menjadi Buddha.”

Bakal Buddha (Bodhisatta) Sumedha merasa sangat bahagia dengan nubuat Buddha Dìpañkara dan dengan dorongan para dewa dan brahmà tersebut. Ia merenung: “Para Buddha bukanlah sosok yang berkata-kata meragukan. Mereka juga tidak mengatakan hal yang sia-sia. Tidak pernah perkataan Mereka terbukti salah. Pasti, aku akan menjadi Buddha.”

Kemudian, ia menyelidiki bahwa terdapat Sepuluh Kesempurnaan (Dasa Pàramì) yang sangat hakiki untuk mencapai Kebuddhaan, yaitu: (i) kedermawanan (dàna), (ii) moralitas (sìla), (iii) pelepasan keduniawian (nekkhamma), (iv) kebijaksanaan (paññà), (v) daya (viriya), (vi) kesabaran (khanti), (vii) kejujuran (sacca), (viii) keteguhan (adhiññhàna), (ix) cinta kasih (mettà), dan (x) ketenangseimbangan (upekkhà).
hosting indonesia
Ia juga mengetahui bahwa Sepuluh Kesempurnaan itu harus dipenuhi dalam tiga tahap, yaitu: (i) merelakan benda-benda luar merupakan pelaksanaan dari Kesempurnaan Biasa (Pàramì), (ii) merelakan anggota tubuh sendiri adalah pelaksanaan dari Kesempurnaan Tinggi (Upapàramì), dan (iii) merelakan hidup adalah pelaksanaan dari Kesempurnaan Mutlak (Paramattha Pàramì).

Sejak saat itu, Bodhisatta Sumedha memenuhi Kesempurnaan-Kesempurnaan tersebut dalam berulang kali kelahirannya, demi kesejahteraan semua makhluk. Dan sebelum kehidupan terakhirnya, ia terlahir kembali sebagai dewa di Surga Tusita dengan nama Dewa Setaketu. Ia menikmati segala kebahagiaan hidup surgawi untuk jangka waktu yang lama sembari menunggu waktu yang tepat untuk menjadi Buddha.

Source From : 
CHRONICLE OF THE BUDDHA
Bhikkhu Kusaladhamma


2. SUMEDHA’S ASPIRATION
TO BECOME AN OMNISCIENT BUDDHA

Having been accomplished in the practice of asceticism, the ascetic Sumedha spent his time enjoying the bliss of jhàna in the forest and was completely unaware of the appearance of the Buddha Dìpañkara in the world.

One day, the Buddha Dìpañkara—accompanied by four hundred thousand Arahants—came to the City of Rammavatì and stayed at the Sudassana Monastery. At this auspicious opportunity, the citizens of Rammavatã approached the Blessed One and invited Him and His disciples for the morrow’s meal. Then, they made the necessary preparations such as cleaning and decorating the city. They also attended to mending of the road which the Blessed One and His disciples would pass through to the city. They filled holes with earth, mended the breaches caused by floods, levelled the uneven muddy ground, and covered the road with pearl-white sand.

At that time, the ascetic Sumedha levitated from his hermitage, and while travelling through space, he saw the citizens of Rammavatì engaging cheerfully in road-mending and decorating. Wondering what was going on below, he alighted and stood at an appropriate place. Then, he asked: “You are mending the road so happily and enthusiastically. For whose benefit are you mending the road?”

The citizens answered: “O ascetic Sumedha, there has appeared in this world the Omniscient Buddha Dìpañkara, who has conquered the five evil forces of Màra, and who is the Supreme Lord of the whole world. We are mending the road for His benefit.”
As soon as ascetic Sumedha heard the word “Buddha”, his heart was filled with joy. He thought: “Rare and difficult, indeed, is the appearance of a Buddha in this world. How fortunate I will be should I be able to render my service to the Blessed One. This is the right moment for me to sow the excellent seeds of merit in the fertile field, namely this Buddha Dìpañkara.”

He then asked: “O men, please allot me a stretch of the road! I wish to participate in your road-mending work for the Blessed One’s visit.”
“Very well,” said the people, and they allotted him a big, swampy and uneven part of the road which would be difficult to mend; they considered that it would be easy for the ascetic, who had great supernatural powers.

Then, the ascetic Sumedha thought: “I can use my supernatural powers to mend this road easily, but if I do so the people may not think of it highly. I should perform my duties with my own physical labour only.”

When the ascetic Sumedha was still mending the road, the Buddha Dìpañkara and His four hundred thousand Arahants came along the road. Devas and all the citizens of Rammavatì welcomed them with the beating of drums. At that time, human beings were visible to the devas and the devas were visible to human beings. They expressed their joy by singing songs honouring the Blessed One. Both the devas and the people were playing their respective musical instruments. While the devas strewed celestial flowers such as mandàrava, paduma and kovilàra all over the places, the earth-bound humans also did similarly with the beautiful and fragrant flowers, such as campà, sarala, mucalinda, nàga, punnàga and ketakã, in adoration to the Blessed One.

The ascetic Sumedha was amazed on seeing the Blessed One. He gazed at the Blessed One, who was endowed with the thirty-two marks of a Great Man (Mahàpurisa) and eighty minor marks. He witnessed the Buddha’s personality at the height of glory; His body was as bright as gold, with a brilliant aura and six rays emanating from His body.

Then, he decided: “I have not finished mending this part of muddy road, but the Blessed One is approaching here. I will not let Him tread on the mud and suffer discomfort. I will sacrifice my life in the presence of the Blessed One today. Let the Blessed One with all His four hundred thousand Arahants walk on my back, using my body as a bridge to cross over this unpleasant part of the road. By doing so, long-lasting welfare and happiness will definitely accrue to me.”

Then, he laid prostrate on the murky swamp. And while doing so, there arose in his mind an aspiration to become a Buddha: “If I so desire, I can eliminate all cankers (àsava) and eradicate all defilements (kilesa) on this very day and become an Arahant. But, what is the advantage of selfishly escaping the cycle of births (samsàra) alone? With my prowess in faith, energy and wisdom, I will exert my utmost effort for the attainment of Omniscient Buddhahood and liberate all beings from the cycle of births, the sea of suffering.”

Among the crowds, there was a young brahmin maiden named Sumittà, who came to join the people gathering in the presence of the Blessed One. She brought with her eight stalks of lotus for offering to the Blessed One. At a place not too far from where she was standing, by coincidence, she saw the ascetic Sumedha, who was making his resolution to attain Buddhahood. As soon as her eyes fell on the ascetic, she was seized with a sudden great love for him. Then, she offered him her five stalks of lotus, saying: “Venerable ascetic, may I be your partner throughout the period you are fulfilling the Perfections for Buddhahood.”

The ascetic Sumedha accepted the lotus stalks from Sumittà. And while he offered them to the Buddha Dãpaïkara, he prayed for the attainment of Omniscient Buddhahood. Sumittà also offered the remaining three stalks to the Blessed One.

At that time, all the people, contemplating the rare appearance of a Buddha, also aspired to Buddhahood, but only the ascetic Sumedha was fully endowed with all the required qualifications for that attainment. The Buddha Dãpaïkara came towards the ascetic Sumedha, who was lying on the mud and uttered His prophecy: “O bhikkhus, this Sumedha the ascetic will become an Enlightened One among brahmàs, devas and human beings by the name of Gotama after fulfilling his Perfections (Pàramì) for four incalculable ages and a hundred thousand aeons from now.”

And observing the scene that had taken place between the ascetic Sumedha and Sumittà, the Blessed One declared a prophecy in the midst of the multitude: “O Sumedha, this girl Sumittà will be your partner. She will share life with you, assisting you with equal fervour and deed for your attainment of Buddhahood.”

After the Buddha Dãpaïkara declared His prophecy, He and His four hundred thousand Arahant disciples proceeded to the City of Rammavatì, keeping the ascetic Sumedha on their right. So did the devas and the people depart after paying obeisance to the ascetic Sumedha and honouring him with flowers and scents.

Thereafter, the ascetic Sumedha rose joyfully from his prostrate position and sat down on a huge pile of flowers that were strewn in his honour, his mind suffused with joy and happiness. The devas and brahmàs, who had come from the ten thousand worlds, spoke words of praise and encouragement to the ascetic: “Noble Sumedha, strive on earnestly with constant diligence! There should be no retreat. Proceed with endeavour! No doubt in us that you will certainly become a Buddha.”

The Buddha-to-be (Bodhisatta) Sumedha was delighted with both the prophetic words of the Buddha Dìpañkara and the encouraging words of the devas and brahmàs. He reflected thus: “Buddhas are not speakers of ambiguous words, nor are they given to speaking of futile things. Never have their words been proved wrong. Surely, I will become a Buddha.”

Then, he investigated that there were the Ten Perfections (Dasa Pàramì) which were essential for Buddhahood, namely: (i) perfection of alms-giving (dàna), (ii) perfection of morality (sìla), (iii) perfection of renunciation (nekkhamma), (iv) perfection of wisdom (paññà), (v) perfection of energy (viriya), (vi) perfection of forbearance (khanti), (vii) perfection of truthfulness (sacca), (viii) perfection of resolution (adhiññhàna), (ix) perfection of loving-kindness (mettà), and (x) perfection of equanimity (upekkhà).

He also came to know that the Ten Perfections had to be performed in all three stages, namely: (i) giving up external things is an exercise of the Ordinary Perfection (Pàramì), (ii) giving up one’s limbs is an exercise of the Higher Perfection (Upapàramì), and (iii) giving up one’s life is an exercise of the Highest Perfection (Paramattha Pàramì).

From then onwards, the Bodhisatta Sumedha exercised the Perfections in his many rounds of existence for the welfare of all beings. And in his penultimate life, he was reborn as a deva in the Tusita Heaven by the name of Deva Setaketu. He was enjoying all the pleasure of celestial life for a long time waiting the right time to become a Buddha.

Artikel Terkait